Demokrasi Pilrek Kampus Telah Lama Mati?

oleh -1866 Dilihat
*Penulis: Ramadhan (Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo)

“Demokrasi berkualitas telah menang di UHO dan Sulawesi Tenggara,” Sebuah kesimpulan yang prematur.

Saya membacanya dalam sebuah status di sosial media. Sebenarnya saya tidak peduli dengan bagaimana dinamika Pemilihan Rektor (Pilrek) UHO yang sementara berlangsung itu.

Tapi saya cukup terpanggil untuk menanggapinya, saat engkau memuji sosok yang menciptakan demokrasi berkualitas akibat peran penguasa dan senat di kampus itu.

Demokrasi tak akan pernah berkualitas, selama pemilihnya itu dibatasi dan hanya orang tertentu yang diberikan hak bersuara. Itu bukan demokrasi.

Itu macam pemilihan ketua kelas.  Demokrari berkualitas yang bagaimana engkau maksud? Hanya ada 49 senat yang punya hak pilih, plus 35 persen suara Menristek.

Yang menentukan pada akhirnya adalah suara kementerian di Jakarta, bukan suara senat universitas.

Mekanisme ini mematikan otonomi kampus dalam memilih pemimpinnya. Berbeda dengan era sebelumnya.

Pemilihan dengan melibatkan civitas akademika memang pernah terjadi di UIN Suka.

Pada pemilihan rektor 2005, misalnya, mahasiswa memiliki suara dalam pemilihan rektor.

Di tahap pertama atau penjaringan, semua mahasiswa berhak memilih, tapi proporsi 20 suara mahasiswa setara dengan suara satu dosen.

Sementara di tahap kedua atau pemilihan, mahasiswa hanya berhak memberikan 12 suara yang diwakili Dema dan Sema universitas dan fakultas.

Di tahap ini, diambil tiga nama yang memperoleh suara terbesar untuk menjadi calon tetap rektor.

Pilrek saat ini hanya proses administratif saja. Tak ada demokrasi berkualitas, seperti yang engkau kemukakan.

Narasi soal adanya potensi isu identitas, yang katanya kampungan, murahan dan sebagainya, itu kesimpulan gelap.

Secara tak langsung ia mengemukakan bila identitas menjadi penyebab kalah dan menang dalam Pilrek.

Artinya produk demokrasi Pilrek sebelumnya dimenangkan karena identitas. Bagaimana engkau menanggapi itu?

Pertanyaan paling mendasar yang saya ajukan adalah apakah salah ketika, memilih karena identitas?

Saya tidak pro atau kontra dalam hal memilih karena identitas. Memilih itu hak semua orang.

Hak bebas.  Prof Mahfud MD, pakar Hukum Tata Negara mengatakan memilih karena identitas tak keliru. Sah dalam alam demokrasi. Yang keliru bila mengampanyekannya di muka publik.

Pemilik suara dalam Pilrek yang hanya beberapa orang itu rentan terjadi transaksional.

Apalagi ada suara Menristek 35 persen. Ini bukan demokrasi berkualitas seperti yang engkau maksud. Ini tak ubahnya macam pemilihan raja di Negeri Jiran.

Hanya para raja, penjaga lambang kekuasaan dan asisten sekretaris dari Majelis Raja-Raja yang terlibat di pemilihan tersebut.

Yang menang dalam pemilihan ini, hanyalah karena saling menggendong kepentingan. Siapa dekat dengan siapa. Ini hanyalah permainan belakang panggung.

Saya juga ingin menanggapi frasa “Meritrokatis” yang katanya membawa ke era baru meninggalkan sekat-sekat lama demi perubahan.

Narasi perubahan ini bukan hal baru yang digaungkan. Sesungguhnya pencetus kata “Meritrokatis” atau meritrokasi bernama Michael Young akan depresi bila kata yang ia ciptakan digaungkan dengan penuh optimisme dan positif untuk perubahan.

Meritrokasi sesungguhnya lebih berbahaya dari feodalisme, tapi sekarang dianggap ideal, padahal menciptakan ketimpangan kian parah dan kemiskinan struktural. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.