Indonesia telah melalui perjalanan panjang dalam upaya membangun hubungan sipil-militer yang ideal.
Pasca-Reformasi 1998, salah satu agenda utama adalah mengembalikan TNI pada posisi profesional dengan menitikberatkan pada supremasi sipil.
Namun, pengesahan UU TNI yang baru kembali memunculkan kekhawatiran tentang kembalinya dwi fungsi militer yang pernah menjadi ciri khas era Orde Baru.
Secara konseptual, dalam negara demokratis, militer seharusnya berada di bawah kendali otoritas sipil yang dipilih secara demokratis.
Posisi sejati militer dalam demokrasi adalah sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aktor politik.
Huntington dalam teorinya mengenai hubungan sipil-militer menekankan pentingnya “kontrol sipil objektif” di mana militer berfokus pada profesionalisme dan keahlian di bidang keamanan, sementara keputusan politik tetap berada di tangan sipil.
Di Indonesia, pengalaman historis menunjukkan bahwa dwi fungsi ABRI/TNI telah menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang signifikan.
Selama era Orde Baru, militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga mendominasi ranah sosial-politik melalui doktrin dwi fungsi.
Hal ini menghasilkan militerisasi birokrasi dan ruang publik yang menggerus esensi demokrasi.
Reformasi 1998 membawa perubahan fundamental dalam hubungan sipil-militer. UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan posisi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Secara teoritis, reformasi TNI telah menghasilkan kerangka institusional untuk supremasi sipil melalui beberapa mekanisme:
Pertama, penghapusan dwi fungsi ABRI dan pemisahan TNI dari Polri. Kedua, penghapusan kursi TNI/Polri di legislatif. Ketiga, netralitas politik TNI. Keempat, penempatan Kementerian Pertahanan di bawah kendali sipil.
Secara empiris, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam membangun supremasi sipil.
Pemilu demokratis sejak 1999 telah menghasilkan pemerintahan sipil yang legitim. Reformasi birokrasi telah mengurangi dominasi militer dalam jabatan-jabatan publik.
Kontrol anggaran pertahanan juga berada di bawah pengawasan parlemen.
Namun, pengesahan UU TNI yang baru menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kemunduran.
Beberapa ketentuan yang memungkinkan TNI terlibat dalam urusan non-pertahanan berpotensi membuka ruang bagi kembalinya peran ganda militer.
Padahal, pengalaman internasional dari negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa batasan yang jelas antara peran militer dan sipil adalah fondasi penting bagi demokrasi yang stabil.
Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa supremasi sipil tetap terjaga meskipun ada perluasan peran TNI.
Hal ini membutuhkan penguatan institusi demokratis, termasuk parlemen yang kuat, peradilan yang independen, dan masyarakat sipil yang aktif.
Mekanisme checks and balances harus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap peran tambahan TNI tetap berada dalam koridor demokratis dan tidak mengancam prinsip supremasi sipil.
Sebagai kesimpulan, Indonesia perlu menjaga keseimbangan yang tepat antara memberikan ruang bagi TNI untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan memastikan bahwa peran tersebut tidak menggerus nilai-nilai demokrasi.
Pengesahan UU TNI yang baru seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali pentingnya supremasi sipil dan bukan sebagai jalan untuk kembali ke masa lalu di mana TNI memiliki kekuasaan politik yang dominan. (*)