RADARKENDARI.COM, KONAWE SELATAN – Seorang kakek berusia 70 tahun, Asmara, warga Desa Lawisata, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menantang dua perusahaan tambang nikel, CV Nusantara Daya Jaya (NDJ) dan PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS).
Ia berbaring di bawah truk perusahaan sebagai bentuk protes atas perampasan lahan milik istrinya, Sunaya, seluas 9 hektare.
Lahan tersebut telah dimenangkan Sunaya melalui putusan Pengadilan Negeri Andoolo pada Desember 2024 (Nomor: 17/PDT.G/2024/PN ADL), yang menyatakan sahnya SKT (Surat Keterangan Tanah) milik Sunaya sejak tahun 2010.
Klaim tandingan dari warga bernama Kumbolan, yang didukung SKT tahun 2024, telah ditolak pengadilan.
Kuasa hukum Sunaya, Fahrial Ansar, menjelaskan bahwa lahan tersebut telah beberapa kali berpindah tangan sebelum dibeli kliennya pada 2010.
Sunaya telah mengelola lahan tersebut, menanam kelapa dan secara aktif membayar PBB. Bukti-bukti yang diajukan di pengadilan, termasuk saksi-saksi, mendukung klaim Sunaya.
Pengadilan menyatakan bahwa aktivitas penambangan PT GMS dan CV NDJ di lahan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Meskipun telah ada kesepakatan bermaterai pada 24 Januari 2025, yang ditandatangani oleh Kumbolan, Kapolsek Laonti, dan Babinsa, untuk menghentikan aktivitas penambangan sampai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah), CV NDJ kembali beroperasi pada 26 Januari 2024.
Asmara pun kembali bertindak, mengusir alat berat dan memasang tanda kepemilikan lahan yang mencantumkan nomor putusan pengadilan.
Kekecewaan mendalam mendorong Asmara untuk meminta bantuan Presiden Prabowo Subianto agar menindak tegas perusahaan tambang tersebut dan mencabut IUP PT GMS.
“Kami memohon Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut IUP PT GMS dan menindak tegas perusahaan tambang yang merampas lahan kami,” kata Asmara.
Kasus ini menyoroti pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat.
Laporan : Fadli