Polemik Terjemahan Al-Qur’an Kembali Memanas

oleh -2416 Dilihat
*Penulis : Dr. Fahmi Gunawan, M.Hum (Dosen Linguistik IAIN Kendari)

Baru-baru ini, diskusi hangat mengenai terjemahan kata dalam Al-Qur’an kembali mencuat. Kali ini terkait dengan kata ‘Asy-Syu’ara’.

Sebelum-sebelum ini, kita melihat betapa hebohnya perdebatan antara pihak Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Kementerian Agama RI seputar persoalan tarjamah harfiyyah dan tarjamah tafsiriyah.

Pihak MMI mengklaim bahwa terjemahan Al-Qur’an yang diproduksi oleh Kementerian Agama RI banyak melakukan kesalahan dalam penerjemahan sehingga sebagai solusinya, penerjemahan tafsiriyah itu dilakukan. Terus, polemik penerjemahan itu muncul Kembali di seputar kata ‘waliyy’ yang membuat Basuki Cahaya Purnama (AHOK) masuk ke hotel prodeo.

Kali ini, giliran video lama Ustad Adi Hidayat (UAH) yang dipotong-potong jadi sorotan. Dalam video tersebut, UAH menjelaskan tentang hukum musik yang ternyata cukup kontroversial di kalangan ulama.

Dalam video yang diunggah di channel UAH pada menit 15.30, UAH menerjemahkan kata “الشعراء” dengan makna ‘para pemusik’, ‘para penyair’.

Hal ini tentu memicu pro dan kontra yang tidak sedikit. Ada ulama yang setuju, mengatakan bahwa “الشعراء” bisa berarti ‘para penyair’ atau ‘para pemusik’.

Namun, ada juga yang keras menentang, menyatakan bahwa kata itu harusnya hanya diterjemahkan sebagai ‘para penyair’ tanpa ada penambahan makna lain dan menyebut pandangan lain sebagai sesuatu yang tidak hanya salah, tapi juga berbahaya, bahkan mengarah ke kesesatan.

Namun, jika kita lihat dalam kacamata kajian penerjemahan, UAH sebenarnya menggunakan teknik terjemahan amplifikasi yang berupa teknik adisi, yang bertujuan untuk memberikan nuansa lebih dalam dari teks aslinya.

Ini adalah bagian dari pendekatan akademis dalam studi terjemahan, di mana tidak hanya informasi langsung dari teks sumber yang diberikan, tapi juga detail tambahan untuk memperkaya pemahaman pembaca. Secara lebih teknis, teknik penerjemahan ini, jika diklasifikasi, meliputi teknik adisi, eksplisitasi, parafrase, dan anotasi.

Teknik penerjemahan adisi adalah teknik penerjemahan dengan memberikan detail yang tidak diformulasikan dalam bahasa sumber.

Dalam teknik ini, penambahan detail/informasi digunakan untuk membantu penyampaian pesan atau pemahaman pembaca, tetapi tidak mengubah pesan yang ada dalam teks bahasa.

Teknik penerjemahan eksplisitasi merujuk pada teknik penerjemahan yang membuat informasi implisit pada teks sumber menjadi lebih eksplisit pada teks sasaran. Teknik penerjemahan parafrase merupakan teknik penerjemahan yang menyampaikan pesan suatu teks bahasa sumber dengan cara berbeda pada bahasa sasarannya.

Teknik penerjemahan anotasi adalah teknik penerjemahan yang berupa catatan kaki tentang suatu hasil penerjemahan untuk menerangkan secara panjang lebar, mengomentari atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis.

Dengan demikian, polemik itu berada di seputar perbedaan penggunaan teknik penerjemahan yang digunakan. Jika UAH menggunakan teknik penerjemahan amplifikasi berupa adisi (para pemusik, para penyair), para ulama/ustadz lainnya yang menentangnya menggunakan teknik penerjemahan padanan lazim (para penyair).

Dengan memahami teknik yang digunakan UAH, seharusnya kita bisa lebih menghargai keragaman interpretasi dan menghindari sikap saling menghujat atau mengkafirkan hanya karena perbedaan pandangan.

Diskusi ini, dalam kerangka yang lebih luas, harusnya berakhir dengan saling menghormati setiap pendapat, bukan dengan saling serang.

Tantangan dalam menerjemahkan teks-teks religius seperti Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada pemilihan kata yang tepat, tetapi juga dalam cara penyampaian pesan yang sesuai dengan konteks aslinya serta mempertimbangkan sensitivitas dan keberagaman tafsir di kalangan umat beragama.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan tentang batas-batas interpretasi yang dapat diterima dalam sebuah komunitas yang memiliki pandangan yang berbeda tentang suatu aspek keagamaan.

Lebih lanjut, debat ini menunjukkan pentingnya dialog dalam mencari titik temu antara keakuratan teks dan kebutuhan adaptasi ke dalam budaya sasaran.

Ini juga menyoroti pentingnya pendidikan penerjemahan yang memadai bagi mereka yang terlibat dalam penerjemahan teks keagamaan, agar mereka dapat membuat keputusan penerjemahan yang lebih informasi dan sensitif terhadap konteks yang lebih luas dari teks tersebut.

Dalam menyikapi perbedaan tafsir dan penerjemahan, penting untuk memiliki kerangka kerja yang dapat mengakomodasi keragaman pendapat dan interpretasi, sambil tetap mempertahankan inti dan nilai-nilai esensial dari teks asli.

Ini tidak hanya akan memperkaya pemahaman kita terhadap teks tersebut, tetapi juga memperkuat jalinan keharmonisan dan saling pengertian di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.

Proses penerjemahan yang teliti dan sensitif terhadap konteks, sambil tetap terbuka terhadap berbagai interpretasi, dapat menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai perbedaan dan memperkuat rasa kebersamaan dalam keragaman.

Ini adalah pelajaran penting yang dapat diambil dari kasus ini, di mana setiap kata dan makna yang diterjemahkan tidak hanya merefleksikan pesan teks, tetapi juga nilai-nilai dan pandangan hidup suatu komunitas. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.