Ternyata Kau, Suster!

oleh -2065 Dilihat
*Penulis: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)

Tidak banyak yang sadar bahwa pernyataan perbedaan sebagai Rahmat bersanding secara an sichdengan berbeda-bedaan atau berselisih sejatinya adalah laknat atau hukuman dengan derajat tertinggi.

Meski tidak identik secara zahir, namun esensi keduanya sebagai pasangan seperti dua kepak sayap; kiri dan kanan.

Jadi ingat suatu artikel yang sempat menghembohkan sebumi nusantara tentang larangan pernikahan beda agama.

Bukan larangan, lebih tepatnya tidak merestui sebagai negara dalam penyuntingan seorang Muslim terhadap wanita Katolik.

Dikisahkan dalam artikel tersebut keluguan seorang lelaki yang hendak menikahi wanita pujaan hatinya, namun terhalang hukum negara yang tidak memperkenankannya.

Jangankan hadir dengan memberi restu sebagaimana terhadap orang kebanyakan, yang ada justru ngelarang! Itu yang disediakan pemuda tersebut.

Kisah tersebut ternyata berlanjut, keduanya dikabarkan belum melenggang juga ke pelaminan.

Meski tidak sesanter para selebriti, sayup-sayup terdengar bahwa keduanya secara sepakat menagguhkan keinginan mereka.

Dari berbagai artikel yang ditulis sendiri oleh si calon penyunting, beberapa saran untuk ditempuh keduanya adalah dengan menundukkan keyakinan di bawah hukum negara dengan cara sementara satu di antaranya masuk ke salah satu agama agar sama hingga hidup dalam rumah tangga dengan jalan masing-masing yang sesungguhnya. “Asyek!” Lepasku.

Atau pilihan kedua yang ternyata jauh dari usaha ekspektasi bersama bahwa pernikahan tersebut diadakan di luar negeri yang mengakui beda agama.

“Saya juga sepakat bahwa ini bukan opsi melainkan lempar tanggung-jawab pemerintah yang diharapkan kehadirannya, cuci-lepas tangan atau apalah istilahnya”

Diam-diam, aku pun berusaha mencari tahu dengan menghubungi saudari si lelaki, sebab sudah yatim maka informasi yang mungkin saja valid bisa didapat dari sana. Bertindak seolah paparazi, aku pun mencari nara hubungnya dari beberapa artikel yangmencantumkannya.

Benar saja, nomor tersebut aktif untuk dimanfaatkan mencari tahu nomor saudari tersebut.

Singkat cerita, setelah tersambung dan berbincang dengan saudari tersebut, ternyata si calon penyunting masih menanyakan dan berceritera tentang wanita Katolik pujaan hati.

Bukan hanya sekali, namun kali ini saudari menekankan bahwa wanita tersebut nampaknyaadalah suster, yang berkomitmen untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, bukan sekedar penganut biasa.

Saudari juga mengungkapkan bahwa, si lelaki juga sempat menanggapi santai, bahwa suatu kebiasaan di lingkungan akademisi Filsafat yang menjadi latar belakang pendidikannya, seperti itu.

Maksudnya, meski dia belajar Filsafat namun sebenarnya tokoh agama seperti pastor, namun, kini mengambil jurusan berbeda.

“Tidak lama adik mengakhiri perbincangan!” Ungkap saudari.

Sementara aku berkesimpulan bahwa sebenarnya usaha ini adalah pelarian, persis seperti artis yang gagal menikah, menghindari sikap frustasi memilih berseni peran.

Atau seorang “homeless” yang berputus asa dalam menyaksikan keruntuhan rumah tangganya dan memilih “berliar bebas.”

Keduanya kini memilih menjadi tokoh agama, termasuk si lelaki, calon penyunting tersebut yang nampak kian religius.

“But wait!” “Bukannya tidak mudah ya untuk tembus menjadi saksi dengan menjadi pemangku agama seperti Romo, Suster, bahkan dalam Islam sekelas Ustadz?” Pikirku membatin.

Artinya meski seseorang tersebut akademisi yang “well educated”, menjadi tokoh agama memiliki syarat-syarat yang ketat.

Aku pun terdiam, “apa ada yang salah ya?” Lanjutku. “Jika tidak menjadi tokoh agama, lantas apa masalahnya menjadi pelayan Tuhan tanpa ditasbihkan? Atau seorang Ustadz tanpa gelar kehormatan.”

Betul juga, menjadi penulis lepas sebagaimana si calon penyuntinglakukan dapat mencerahkan melalui artikel-artikel berbagai jenis.”

“Majelis menulis!” Tandasku. “Termasuk memungkinkan si wanita Katolik menjadi suster meski tanpa penutup kepala dan gelar kehormatan, lebih natural.” Tutupku mengusir jauh lamunanku tentang wacana perbeda-bedaan yang hakiki sebagai sesungguhnya perbedaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.