Polarisasi Isu Ijazah Palsu, Refleksi Dilema Keterusterangan dalam Demokrasi Kita

oleh -2274 Dilihat
*Penulis: Andi Awaluddin Maruf (Pengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Kendari, Pemerhati Demokrasi dan Politik Lokal)

Riuh hiruk-pikuk perkembangan demokrasi Indonesia yang telah melewati berbagai ujian, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang esensi kepemimpinan: sejauh mana transparansi dan kejujuran menjadi prasyarat mutlak bagi legitimasi kekuasaan?

Kontroversi seputar keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo yang mencuat belakangan ini bukanlah sekadar persoalan administratif semata.

Ia adalah refleksi dari paradoks yang lebih mendalam dalam lanskap politik kita—bagaimana kredibilitas personal pemimpin seringkali tersubordinasi oleh narasi keberhasilan program pembangunan.

Selama satu dekade kepemimpinannya, Jokowi telah membangun citra sebagai figur sederhana dengan pendekatan pragmatis terhadap persoalan bangsa.

Namun, di balik narasi kesederhanaan tersebut, terdapat inkonsistensi-inkonsistensi yang perlahan terkuak seiring dengan berakhirnya masa jabatan. Fenomena ini menandakan adanya pergeseran dalam cara masyarakat memaknai kekuasaan.

Munculnya keberanian publik untuk mempertanyakan hal-hal yang dulu dianggap tabu patut dicermati sebagai manifestasi kedewasaan demokrasi.

Ketika kekuasaan formal tidak lagi melekat pada seseorang, ruang kritik menjadi lebih terbuka.

Ini menunjukkan bahwa kultur feodalisme yang dulu mengakar dalam sistem politik kita mulai terkikis, meski secara perlahan.

Sikap Presiden Prabowo yang memilih diam  untuk tidak berkomentar mengintervensi dinamika ini  juga menandakan adanya pergeseran paradigma dalam pengelolaan kekuasaan.

Pendekatan ini menciptakan iklim politik yang lebih sehat, di mana berbagai gagasan dapat berkontestasi tanpa ancaman represi.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi, hal ini merupakan perkembangan yang patut diapresiasi.

Yang perlu menjadi perhatian kita adalah implikasi jangka panjang dari fenomena ini terhadap kultur politik nasional.

Jika pola ketidakterusterangan telah menjadi norma dalam komunikasi politik, bagaimana kita bisa membangun kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi? Pertanyaan ini menjadi krusial terutama di era pasca-kebenaran, di mana batas antara fakta dan fiksi semakin kabur.

Polemik ini juga menjadi pengingat bahwa dalam era digital, tidak ada lagi rahasia yang benar-benar terjaga. Cepat atau lambat, inkonsistensi akan terkuak, dan ketika itu terjadi, biaya politik yang harus dibayar akan jauh lebih besar.

Ini adalah pelajaran berharga bagi siapapun yang mengemban amanah publik. Ada tiga hal yang perlu kita refleksikan dari fenomena ini.

Pertama, pentingnya membangun budaya politik berbasis kejujuran sejak dini. Kedua, urgensi reformasi sistem pendidikan politik yang tidak hanya berorientasi pada kemenangan elektoral tetapi juga pembentukan karakter kepemimpinan. Ketiga, perlunya penguatan masyarakat sipil sebagai pengawas kekuasaan.

Jika menilik sejarah peradaban, kita akan menemukan bahwa kejatuhan rezim besar seringkali diawali dari erosi kepercayaan publik.

Ketika rakyat tidak lagi percaya pada pemimpinnya, legitimasi kekuasaan akan terkikis, dan ketika itu terjadi, program pembangunan sebaik apapun akan sulit memperoleh dukungan.

Kontroversi ijazah ini sejatinya bukan tentang satu orang, melainkan tentang prinsip yang lebih fundamental: bahwa kejujuran adalah mata uang yang tak ternilai dalam ranah publik.

Ketika seorang pemimpin memilih untuk tidak transparan dalam hal-hal mendasar, bagaimana ia bisa diharapkan untuk jujur dalam kebijakan yang lebih kompleks?

Di penghujung refleksi ini, kita diajak untuk kembali pada pertanyaan klasik tentang hakikat kepemimpinan.

Dalam tradisi Jawa dikenal ungkapan “mikul dhuwur mendhem jero” (menjunjung tinggi kebaikan dan mengubur dalam-dalam keburukan).

Namun, dalam konteks demokratisasi yang menuntut transparansi, mungkin sudah saatnya kita memodifikasi prinsip tersebut menjadi “menegakkan kebenaran, menghormati martabat”—sebuah pendekatan yang menghargai kebenaran tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.