RadarKendari.com, KENDARI – Menajemen PT Tambang Indonesia Sejahtera (TIS), perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Lainea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) angkat bicara terkait tudingan aktivitas ilegal yang dijalankan.
Dalam laporan bernomor 13/LHP/XVII/05/2024 tertanggal 20 Mei 2024, BPK menemukan adanya dugaan pembukaan kawasan hutan seluas 155,26 hektare tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan belum dipenuhinya kewajiban jaminan reklamasi.
PT TIS juga dituding melakukan penyerobotan lahan warga di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan.
Direktur Utama PT TIS, La Ode Kais, menegaskan bahwa informasi yang beredar tidak benar. Menurutnya, hingga saat ini perusahaan hanya melakukan penambangan di lahan pribadi seluas satu hektare yang bersertifikat atas nama keluarganya.
“Berita bahwa kami menyerobot tanah masyarakat itu tidak benar. Kalau ada klaim, tunjukkan lahan siapa yang kami serobot. Faktanya, lahan yang kami tambang adalah lahan pribadi kami yang sah secara sertifikat,” tegasnya kepada , Kamis (4/9/2025).
Terkait temuan BPK mengenai pembukaan kawasan hutan, La Ode menilai hal tersebut keliru. Ia menjelaskan bahwa wilayah yang dimaksud bukan hutan lindung, melainkan area bakau atau lahan berlumpur di tepi laut yang menurutnya tidak layak untuk ditambang.
“Kami tidak pernah melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Kalau pun ada temuan, itu bukan hutan tapi lahan bakau yang memang tidak bisa ditambang,” jelasnya.
Selain itu, La Ode juga menegaskan bahwa PT TIS tetap menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar dan rutin berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Perusahaan, kata dia, bahkan telah memberikan kontribusi melalui perbaikan fasilitas umum maupun bantuan langsung kepada warga.
Sementara itu, Direktur PT TIS, Wa Ode Suliana menambahkan bahwa PT TIS belum diwajibkan mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), sebab wilayah operasionalnya berada di area APL (Areal Penggunaan Lain), bukan di hutan lindung.
Mengenai kewajiban jaminan reklamasi, pihak perusahaan mengaku sudah mengajukan sejak Desember 2024, namun hingga kini masih menunggu penetapan nilai dari pemerintah pusat.
“Kami sudah mengajukan jaminan reklamasi sejak tahun lalu, tapi hingga sekarang belum ada penetapan dari pusat. Jadi bukan kami yang tidak taat, melainkan prosesnya memang masih berjalan di pemerintah pusat,” terang Suliana.
Dikesempatan baik ini, ia menegaskan seluruh aktivitas perusahaan dilakukan secara legal, transparan dan tetap dalam pengawasan pihak terkait.
“IUP kami legal semua, semua dikelola pemerintah. Semua kegiatan kami atas kuasa pemerintah, semua dalam pengawasan,” pungkas Suliana. (AS)












