KENDARI – Sejumlah massa yang tergabung dalam Koalisi Gerbang Kota bersama Lembaga Masyarakat Buruh Sulawesi Tenggara serta warga Desa Bangun Jaya, Kabupaten Konawe Selatan, menggelar aksi di depan Pengadilan Tinggi Sultra, Kamis (6/11/2025). Mereka memprotes keputusan Pengadilan Negeri Andoolo yang menangguhkan perkara pidana Kepala Desa Bangun Jaya, Masrin, dalam dugaan kasus perusakan hutan konservasi Tanjung Betikolo.
Massa menilai penangguhan perkara tersebut tidak hanya janggal, tetapi juga bertentangan dengan asas hukum. Mereka menduga ada kekeliruan serius dalam proses hukum yang dijalankan oleh majelis hakim.
“Ini langkah prematur dan berpotensi melenceng dari substansi hukum. Dugaan perusakan hutan konservasi adalah pidana khusus, bukan perkara perdata,” tegas Abdi Wira, Korlap I aksi, di sela-sela orasi.
Abdi menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Ditreskrimsus Polda Sultra, bukti-bukti kerusakan kawasan hutan konservasi sudah cukup kuat. “Hasil investigasi sudah jelas, baik dari kepolisian maupun instansi kehutanan. Tapi anehnya, hakim justru mengaitkan perkara ini dengan sengketa sertifikat tanah,” katanya.
Dalam berkas perkara bernomor 79/Pid.Sus-LH/2025/PN.Adi, terdakwa Masrin Bin Masruddin didakwa atas dugaan perusakan hutan konservasi di kawasan Tanjung Betikolo, Desa Bangun Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Namun, dalam persidangan, hakim disebut mengaitkan perkara pidana lingkungan tersebut dengan perkara perdata bernomor 32/Pdt.G/2025/PN.Adi yang berkaitan dengan kepemilikan lahan.
Koalisi menilai langkah hakim tersebut mengaburkan pokok perkara. Mereka menuding majelis hakim sengaja mengalihkan konteks hukum agar perkara perusakan hutan konservasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Kasus ini seharusnya berdiri di atas hukum pidana lingkungan hidup. Tapi yang terjadi justru diarahkan ke ranah perdata. Ini sangat tidak wajar,” kata Abdi lantang.
Aksi yang berlangsung damai itu diwarnai tuntutan agar Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara segera melakukan evaluasi terhadap putusan penangguhan tersebut. Mereka meminta agar perkara dikaji ulang dan majelis hakim yang memutus tidak lagi dilibatkan dalam sidang lanjutan.
“Kami minta Pengadilan Tinggi mencabut dan membatalkan putusan Hakim PN Andoolo. Jika perlu, hakim yang menangani kasus ini diganti,” tegas Korlap II, Muh. Ilhark, S.Pd., disambut sorakan dukungan massa.
Sementara Korlap III, Andri Indrawan, S.Hum, menambahkan, masyarakat Desa Bangun Jaya sudah lama menanti kejelasan hukum atas dugaan perusakan hutan konservasi. Ia menilai, putusan penangguhan justru menimbulkan ketidakpastian dan kekecewaan di tengah masyarakat.
“Kami datang bukan untuk menghakimi, tapi menuntut keadilan yang sesuai hukum. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” ujarnya.
Massa aksi berjanji akan terus mengawal proses hukum hingga Pengadilan Tinggi Sultra memberikan keputusan yang dianggap adil dan transparan. Mereka juga menyatakan siap melaporkan dugaan pelanggaran etik hakim ke Komisi Yudisial apabila tuntutan mereka diabaikan.
“Perusakan hutan konservasi bukan perkara kecil. Ini soal kelestarian lingkungan dan keadilan bagi masyarakat. Kami akan terus berdiri di depan untuk memperjuangkannya,” tutup Abdi. (red/ID)











